header mandadee

Review Cerpen Setelah Para Tetua Pergi

Post a Comment
Konten [Tampil]
Menuju puncak pekan keempat Oprec Komunitas One Day One Post, kali ini tantangan yang diberikan adalah memberikan opini sebuah cerpen (cerita pendek). Kami diberi dua pilihan cerpen dan memilih salah satunya untuk diberkan opini.
Cerpen pertama berjudul Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri karya Heru Sang Amurwabumi. Cerpen kedua berjudul Setelah Para Tetua Pergi karya Achmad Ikhtiar. Jujur saja, kedua cerpen ini membuat saya mengernyitkan dahi. Ini ceritanya tentang apa ya?
Penggunaan kalimat dalam cerpen tersebut sangat apik, terlihat sekali penulis memiliki banyak diksi. Tak kalah, pengetahuan penulis pun luas terlihat ketika penulis menuangkannya dalam cerita. Walaupun, kedua cerpen membuat saya tertarik untuk memberikan opini, namun karena hanya satu saja yang harus saya berikan opini, saya memilih cerpen berjudul Setelah Para Tetua Pergi untuk saya berikan opini.

Review Cerpen Setelah Para Tetua Pergi karya Achmad Ikhtiar

review cerpen

Cerpen karya Achmad Ikhtiar yang berjudul Setelah Para Tetua Pergi ini sangat unik. Saya perlu membacanya beberapa kali untuk mencoba mengetahui apa makna dibalik cerita ini. Banyak pertanyaan yang ada dalam pikiran saya ketika membacanya.
Achmad Ikhtiar menuangkan tulisannya dengan penuh kemisteriusan. Saya penasaran apa arti sebenarnya dalam cerpen tersebut. Karena walaupun sudah bolak balik say abaca, saya masih belum menangkap apa artinya.
Meski begitu, ini yang membuat cerpen Setelah Para Tetua Pergi unik. Membuat pembaca penasaran, dan menebak-nebak apa makna di dalamnya.
Di awal-awal paragraf digambarkan beberapa laki-laki dalam cerita yang sedang berduduk-duduk terdiam dalam sebuah ruangan. Kemudian muncul tokoh yang disebut “para tetua”, yang dalam cerita sepertinya sedang menghakimi para lelaki tadi.
Dalam sebuah percakapan seorang tetua mengatakan, “Ini baru pertama kali terjadi setelah ribuan tahu organisasi kita berdiri” “Jika kalian membaca dengan baik buku nubuat yang kami tulis ribuan tahun lalu, berarti ini memang sudah saatnya, waktunya sudah hampir datang.” Kalimat tersebut mengundang pertanyaan untuk saya, siapa sebenarnya para tetua ini? Usianya sudah ribuan tahun? Organisasi apa yang dimaksud?
Membaca paragraf demi paragraph selanjutnya membuat saya merinding. Ini cerita mistis? Pikir saya. Para tetua tadi menyebut tempat yang mereka pijak adalah rumah. Rumah yang katanya tidak akan mampu mencukupi kebutuhan mereka jika jumlahnya terus bertambah. Maka menurutnya, agar rumah tetap nyaman maka harus mengurangi jumlah penghuni rumah dengan menciptakan kematian.
Pada bagian ini, bulu kuduk saya berdiri. Wah, beneran cerita mistis ya? Horror? Semakin menarik dan membuat penasaran. Ditambah lagi para tetua itu melarang menyebut nama Tuhan di dalam ruangan itu. Para tetua menyebut dirinya adalah pesuruh Tuhan yang bertugas menjalankan tugas-tugas sejak awal “rumah” tersebut dibangun.
Apakah yang dimaksud rumah di sini adalah “bumi”? Namun, mengapa tidak diperbolehkan menyebut nama Tuhan?
Kemudian, sebelum kepergian para tetua, mereka menyuruh para lelaki tersebut menanggalkan bajunya, menyuruhnya pulang dan memeluk anak-anak mereka, menyiram dan memberi pupuk pohon-pohon yag ada di halaman, serta memperbanyak memuji-muji Tuhan.
Para lelaki itu pun menuruti perintah para tetua, menanggalkan pakaian yang mereka kenakan ribuan tahun lalu pulang. Di sini pun mengundang pertanyaan bagi saya, usia lelaki itu ribuan tahun juga?siapa sebenarnya lelaki itu? Terus mereka pulang ke mana?
Di akhir cerita, penulis menceritakan bahwa setelah kepergian para tetua, rumah yang ditempati para lelaki itu terasa nyaman, taka da lagi perang, pembunuhan, atau wabah.

Cerpen Setelah Para Tetua Pergi ini berhasil membuat saya penasaran sampai dengan akhir cerita. Rasanya saya ingin bertanya langsung pada penulis, sebenarnya siapa para tetua itu? Apa yang dimaksud dengan rumah dalam cerita itu? Penasaran juga kan moms, dengan isi ceritanya? Cobain baca deh.

Manda Dea
I live my life a quarter mile at a time

Related Posts

Post a Comment