Konten [Tampil]
Dunia yang tadinya riuh mendadak sunyi, sekolah-sekolah seperti kota yang ditinggalkan, jalanan lenggang seolah kehilangan denyut, serta pintu rumah menjadi batas antara selamat dan bahaya. Pandemi ni tidak hanya menjadi krisis kesehatan, tetapi juga krisis sosial ekonomi, dan psikologis.
Badai itu pula yang menghantam Desa Pemuteran, Bali. Desa yang biasanya hangat oleh senyum wisatawan, riuh suara pemandu selam, dan langkah para pelancong di pasir pantai, mendadak terasa sepi. Pintu-pintu homestay tertutup, perahu penyelam terparkir lama di bibir pantai, warung-warung pinggir pantai pun kehilangan pembeli.
Pemuteran, yang selama ini hidup dari denyut pariwisata dan keindahan bawah lautnya, harus terdiam menghadapi kenyataan baru bahwa ketika wisata terhenti, ekonomi ikut terhenti. Masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut dan wisatawan yang datang dari berbagai penjuru dunia dipaksa bertahan dalam ketidakpastian.
Sementara itu, anak-anak berjuang menjaga semangat untuk belajar di tengah keterbatasan perangkat dan jaringan. Ruang kelas yang dulu penuh tawa, menjadi layar datar yang hening. Tidak ada lagi duduk berdampingan, saling berbagi buku, hingga menatap langsung guru yang mengajar. Ya, seolah waktu terhenti, sekolah-sekolah mendadak sunyi.
Kendala jaringan internet menjadi persoalan utama yang perlahan menampakkan dampaknya. Tidak semua wilayah di Pemuteran memiliki koneksi stabil, dan tidak semua keluarga memiliki gawai yang memadai. Banyak siswa harus bergantian menggunakan ponsel orang tua, atau berjalan ke tempat yang lebih tinggi hanya untuk menjemput sinyal. Pembelajaran daring yang idealnya memudahkan, justru menjadi tantangan baru yang melelahkan. Bagi sebagian anak, kelas bukan lagi ruang belajar yang nyaman, melainkan perjuangan teknis yang harus dihadapi setiap hari.
Di sinilah, kekhawatiran Gede Andika Wirateja akan dampak kondisi psikologis dan motivasi belajar anak-anak Pemuteran, muncul. Semangat belajar yang dulu tumbuh dari kebersamaan perlahan meredup karena harus belajar sendiri di ruang-ruang yang sepi.
Berangkat dari kekhawatiran itulah, Gede Andika Wirateja menggagas KREDIBALI, yaitu Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan untuk menjaga nyala harapan di hati anak-anak Pemuteran.
Keputusan besar sering lahir dari kegelisahan yang tidak bisa diabaikan. Begitu pula dengan Gede Andhika, yang rela melepas gelar masternya, demi sebuah tujuan yang bermakna. Maret 2020 lalu, Gede Andhika memutuskan memilih jalan pulang, kembali ke kampung halamannya, Desa Pemuteran.
Hal berbeda ia rasakan saat pulang ke desa pesisir di ujung barat laut Bali itu. Di suatu sore yang sunyi, ia melihat banyak anak-anak yang memutuskan tak lagi sekolah. Dari 29 anak yang Dika tanyai, mereka menjawab “tidak lagi sekolah”. Bagi Dika yang menjunjung tinggi nilai pendidikan, jawaban itu sangat memilukan.
Alasannya sederhana, “Kita tidak punya handphone kak, kita tidak punya tablet untuk belajar, jadi aku bantu papaku melaut saja, bantu mencari ikan, bantu mencari makanan sapi. Kami putus sekolah saja, banyak anak di sini yang putus sekolah.”
Bagai duri yang menusuk, bagi Dika mindset itu terlalu bahaya jika tertanam terlalu lama pada anak-anak. Ia tidak ingin angka putus sekolah lagi-lagi tinggi dan terjadi pada adik-adiknya. Pandemi tidak hanya memutus ekonomi, pandemi memutus pula mimpi anak-anak Pemuteran.
Kegelisahan itu membuatnya mengambil keputusan yang bagi sebagian orang terdengar tidak masuk akal, menolak beasiswa S2 ke Inggris. Baginya, “Kalau saya pergi, siapa yang akan membantu mereka?”
Bukan sekadar program spontan, Dika telah melakukan riset sebelum memulai KREDIBALI. Tentunya tak mudah memulai program di tengah puncak pandemi. Kekhawatiran pemerintah, orangtua anak-anak, menjadi kendala.
Gede Andika kemudian melakukan baseline study bagaimana Covid-19 berdampak terhadap pembelajaran anak-anak di Desa Pemuteran. Ia pun membuat forecasting dampak dari anak-anak yang dibiarkan terus menerus tidak belajar.
Hasilnya ia bawa ke pemerintah setempat, BABINSA, Polsek, begitu juga para orangtua agar KREDIBALI mendapatkan izin. Meski demikian, pemerintah tetap merasa khawatir, program ini akan menimbulkan resiko yang lebih besar. Namun, Dika meyakinan kembali bahwa selama program berlangsung, akan tetap menerapkan protokol kesehatan selama Covid-19 kepada anak.
Tak ingin memutuskan asa, Andika meminta izin untuk menggunakan kantor desa. Meski pada awalnya kepala desa ragu memberikan izin, Dika mampu meyakinkan kembali bahwa anak-anak akan tetap menjaga protokol kesehatan.
Setiap harinya, anak-anak menaruh sampah di bank sampah, kemudian berbaris untuk mencuci tangan sebelum memulai pelajaran, anak-anak pun diwajibkan untuk menggunakan masker. Selain itu untuk bisa menjaga jarak saat di kelas, setiap harinya kelas dibagi menjadi tiga sesi, sehingga ada cukup tempat untuk duduk tidak berdekatan.
Apa itu KREDIBALI? Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk memahami dunia, mengungkapkan pikiran, dan membangun masa depan. Setidaknya itulah yang Dika yakini. Hadirnya KREDIBALI sebagai teman belajar, membuka ruang-ruang kecil yang penuh kepercayaan di mana anak-anak merasa didengar, dihargai, dan memiliki tempat untuk bertumbuh.
Bukan sebagai pengganti sekolah formal, program utama KREDIBALI berfokus pada kelas literasi dan bahasa Inggris. Kelas ini diperuntukan untuk anak SD sampai dengan SMP yang memiliki akses terbatas terhadap pendidikan daring. Dengan kata lain, tidak semua anak dapat mengikuti kelas. Hanya mereka yang berhak, yang dapat mengikuti KREDIBALI.
Mereka yang berhak adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu dan keluarga terdampak Covid-19, di mana mereka harus putus sekolah karena tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh. Bukan tanpa alasan ia membuat peraturan tersebut. Menurutnya, dalam kegiatan belajar mengajar di KREDIBALI, anak-anak yang masuk haruslah memiliki latar belakang dan minat yang sama. Tujuannya, agar treatment yang akan dilakukan kepada setiap anak adalah sama.
Bukan tanpa alasan pula, Dika memilih mengajarkan bahasa Inggris untuk program KREDIBALI. Bahasa Inggris adalah investasi jangka panjang yang dapat ia wariskan kepada anak-anak Pemuteran, di mana Pemuteran sendiri merupakan kawasan pariwisata yang ramai wisatawan asing.
Tidak hanya itu, pemuda yang tumbuh besar di Perth itu yakin, dengan memiliki kemampuan berbahasa Inggris, anak-anak memiliki peluang besar untuk terlibat dalam kegiatan tingkat internasional, misalnya saja untuk mengikuti berbagai kompetisi internasional.
Di Desa Pemuteran sendiri sebagai kawasan wisata memiliki permasalah lingkungan yang cukup serius, yaitu terdapat banyak sampah plastik. Sebagai kawasan pariwisata dengan keindahan bawah laut sebagai daya tariknya, menjaga dan mengelola lingkungan dengan baik, terutama dari timbunan sampah plastik, adalah hal yang perlu dilakukan bersama oleh masyarakat Pemuteran.
Untuk menuntaskan masalah lingkungan, pemuda kelahiran 1998 tersebut memanfaatkan sampah plastik sebagai alat tukar untuk mengikuti KREDIBALI. Setiap siswa diminta membawa sampah plastik yang ada di rumah untuk dibawa dan dikumpulkan sebelum kegiatan belajar mengajar.
Setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar, anak-anak pun diwajibkan untuk memilah sampah plastik yang sudah terkumpul. Tidak berhenti di situ, anak-anak pemuteran juga memiliki kewajiban mengedukasi orang tuanya untuk memilah sampah plastik di rumah.
Melalui kerja sama KREDIBALI dengan Non Government Organization (NGO) Lingkungan di Desa Pemuteran, sampah yang terkumpul kemudian dimanfaatkan kembali. Tim NGO Lingkungan akan langsung mengangkut sampah plastik di hari yang sama saat anak-anak mengumpulkan sampah. Sehingga lingkungan belajar mengajar tetap bersih.
Dalam waktu 6 bulan program, KREDIBALI menghasilkan sekitar 300-400 kg sampah plastik di Desa Pemuteran. Sekitar 80% sampah plastik yang ditukarkan ke NGO Lingkungan, akan dimanfaatkan menjadi beras. Beras yang dihasilkan akan disalurkan untuk para lansia di Desa Pemuteran. Lebih dari 170 lansia Pemuteran sebagai penerima manfaat dari hasil penukaran sampah plastik.
“Sejauh apapun kita belajar, mencari ilmu dengan kuliah bahkan sampai ke luar negeri, langkah awal untuk berkontribusi bagi bangsa adalah dengan membangun desa. Menunda study S2, untuk menjalankan program KREDIBALI adalah keputusan terbaik yang pernah saya ambil. “ - Gede Andika Wirateja
Tak ada yang sia-sia, perjuangan dan dedikasi sosok Gede Andika Wirateja untuk kampung halamannya, mendapatkan apresiasi dari SATU Indonesia Awards 2021, kategori khusus sebagai Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi COVID-19.
KREDIBALI menjadi salah satu yang terpilih dari lebih 14.000 pendaftar kompetisi bergengsi ini. Lebih dari itu, Gede Andika dan KREDIBALI memberikan kontribusi yang nyata, dalam menuntaskan isu sosial yang terjadi di Pemuteran, memberikan harapan yang lebih baik untuk masa depan anak-anak Pemuteran, lingkungan yang lebih bersih, serta membantu para lansia memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kini, Andika tidak lagi sendiri. Banyak relawan yang bergabung dan ikut berkontribusi menjadi teman belajar anak-anak Bali. Tidak hanya 471 anak Pemuteran, sekitar 171 anak di Denpasar, dan lebih dari 50 anak di Batur, telah menjadi teman ajar KREDIBALI.
Gede Andika Wirateja, Lentera Pendidikan Desa Pemuteran
“Karena saya orang dari desa itu, saya dari pulau itu, dan I am Indonesian. Ketika saya melihat waktu itu anak-anak tidak bisa ikut sekolah online, saya merasa selfish kalau aku berangkat S2 ke UK.” - Gede Andika.
Keputusan besar sering lahir dari kegelisahan yang tidak bisa diabaikan. Begitu pula dengan Gede Andhika, yang rela melepas gelar masternya, demi sebuah tujuan yang bermakna. Maret 2020 lalu, Gede Andhika memutuskan memilih jalan pulang, kembali ke kampung halamannya, Desa Pemuteran.
Hal berbeda ia rasakan saat pulang ke desa pesisir di ujung barat laut Bali itu. Di suatu sore yang sunyi, ia melihat banyak anak-anak yang memutuskan tak lagi sekolah. Dari 29 anak yang Dika tanyai, mereka menjawab “tidak lagi sekolah”. Bagi Dika yang menjunjung tinggi nilai pendidikan, jawaban itu sangat memilukan.
Alasannya sederhana, “Kita tidak punya handphone kak, kita tidak punya tablet untuk belajar, jadi aku bantu papaku melaut saja, bantu mencari ikan, bantu mencari makanan sapi. Kami putus sekolah saja, banyak anak di sini yang putus sekolah.”
Bagai duri yang menusuk, bagi Dika mindset itu terlalu bahaya jika tertanam terlalu lama pada anak-anak. Ia tidak ingin angka putus sekolah lagi-lagi tinggi dan terjadi pada adik-adiknya. Pandemi tidak hanya memutus ekonomi, pandemi memutus pula mimpi anak-anak Pemuteran.
Kegelisahan itu membuatnya mengambil keputusan yang bagi sebagian orang terdengar tidak masuk akal, menolak beasiswa S2 ke Inggris. Baginya, “Kalau saya pergi, siapa yang akan membantu mereka?”
Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan
Gede Andika kemudian melakukan baseline study bagaimana Covid-19 berdampak terhadap pembelajaran anak-anak di Desa Pemuteran. Ia pun membuat forecasting dampak dari anak-anak yang dibiarkan terus menerus tidak belajar.
Hasilnya ia bawa ke pemerintah setempat, BABINSA, Polsek, begitu juga para orangtua agar KREDIBALI mendapatkan izin. Meski demikian, pemerintah tetap merasa khawatir, program ini akan menimbulkan resiko yang lebih besar. Namun, Dika meyakinan kembali bahwa selama program berlangsung, akan tetap menerapkan protokol kesehatan selama Covid-19 kepada anak.
Aku Masih Ingin Sekolah
Mei 2020, program KREDIBALI atau Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan pertama kali digalakkan. Siapa sangka, di hari pertama KREDIBALI berjalan, 29 anak yang terdata, berubah menjadi 79 anak yang berbondong datang meminta untuk sekolah.“Maaf ya tiyang baru habis cari makan sapi, jadi tiyang baru bisa bawa anak tiyang ke sini, tiyang bisa minta tolong, anak tiyang juga mau sekolah.” mohon salah satu orangtua yang mengantar anaknya untuk mengikuti KREDIBALI.79 anak-anak itu duduk penuh semangat memenuhi sebuah banjar, untuk bisa sekolah lagi. Saat itu, meski seorang diri mengajar, Andika tetap menerima anak-anak yang masih berharap bisa sekolah. Semakin banyak anak yang antusias belajar, kendala selanjutnya adalah tempat mereka untuk belajar.
Tak ingin memutuskan asa, Andika meminta izin untuk menggunakan kantor desa. Meski pada awalnya kepala desa ragu memberikan izin, Dika mampu meyakinkan kembali bahwa anak-anak akan tetap menjaga protokol kesehatan.
Setiap harinya, anak-anak menaruh sampah di bank sampah, kemudian berbaris untuk mencuci tangan sebelum memulai pelajaran, anak-anak pun diwajibkan untuk menggunakan masker. Selain itu untuk bisa menjaga jarak saat di kelas, setiap harinya kelas dibagi menjadi tiga sesi, sehingga ada cukup tempat untuk duduk tidak berdekatan.
Mengenal KREDIBALI Sebagai Semangat Baru Pendidikan
Bukan sebagai pengganti sekolah formal, program utama KREDIBALI berfokus pada kelas literasi dan bahasa Inggris. Kelas ini diperuntukan untuk anak SD sampai dengan SMP yang memiliki akses terbatas terhadap pendidikan daring. Dengan kata lain, tidak semua anak dapat mengikuti kelas. Hanya mereka yang berhak, yang dapat mengikuti KREDIBALI.
Mereka yang berhak adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu dan keluarga terdampak Covid-19, di mana mereka harus putus sekolah karena tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh. Bukan tanpa alasan ia membuat peraturan tersebut. Menurutnya, dalam kegiatan belajar mengajar di KREDIBALI, anak-anak yang masuk haruslah memiliki latar belakang dan minat yang sama. Tujuannya, agar treatment yang akan dilakukan kepada setiap anak adalah sama.
Bukan tanpa alasan pula, Dika memilih mengajarkan bahasa Inggris untuk program KREDIBALI. Bahasa Inggris adalah investasi jangka panjang yang dapat ia wariskan kepada anak-anak Pemuteran, di mana Pemuteran sendiri merupakan kawasan pariwisata yang ramai wisatawan asing.
Tidak hanya itu, pemuda yang tumbuh besar di Perth itu yakin, dengan memiliki kemampuan berbahasa Inggris, anak-anak memiliki peluang besar untuk terlibat dalam kegiatan tingkat internasional, misalnya saja untuk mengikuti berbagai kompetisi internasional.
“Target saya buakan anak-anak yang harus pintar, tetapi mereka tidak putus semangat belajarnya, jadi saya harus mencari sesuatu yang paling dekat dengan mereka” - Gede Andika
Dari Sampah Plastik, untuk Belajar Bahasa Inggris
Sesuai dengan namanya, Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan, Dika tidak hanya menjadi teman belajar bahasa Inggris untuk anak-anak Pemuteran, Dika juga membekali literasi lingkungan sebagai upaya untuk membentuk generasi yang peduli dan berwawasan lingkungan.
Di Desa Pemuteran sendiri sebagai kawasan wisata memiliki permasalah lingkungan yang cukup serius, yaitu terdapat banyak sampah plastik. Sebagai kawasan pariwisata dengan keindahan bawah laut sebagai daya tariknya, menjaga dan mengelola lingkungan dengan baik, terutama dari timbunan sampah plastik, adalah hal yang perlu dilakukan bersama oleh masyarakat Pemuteran.
Untuk menuntaskan masalah lingkungan, pemuda kelahiran 1998 tersebut memanfaatkan sampah plastik sebagai alat tukar untuk mengikuti KREDIBALI. Setiap siswa diminta membawa sampah plastik yang ada di rumah untuk dibawa dan dikumpulkan sebelum kegiatan belajar mengajar.
Setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar, anak-anak pun diwajibkan untuk memilah sampah plastik yang sudah terkumpul. Tidak berhenti di situ, anak-anak pemuteran juga memiliki kewajiban mengedukasi orang tuanya untuk memilah sampah plastik di rumah.
“Dampaknya multiplied, karena dari anak ke orang tua kemudian menjadi kebiasaan akhirnya sekarang ada bank sampah dan polanya jadi terpadu.”Education, environment, and humanity, 3 aspek yang menurut Andika menjadi permasalahan yang terjadi di kampung halamannya pada masa pandemi. Melalui KREDIBALI, Gede Andika berupaya untuk menuntaskan permasalah tersebut.
Melalui kerja sama KREDIBALI dengan Non Government Organization (NGO) Lingkungan di Desa Pemuteran, sampah yang terkumpul kemudian dimanfaatkan kembali. Tim NGO Lingkungan akan langsung mengangkut sampah plastik di hari yang sama saat anak-anak mengumpulkan sampah. Sehingga lingkungan belajar mengajar tetap bersih.
Dalam waktu 6 bulan program, KREDIBALI menghasilkan sekitar 300-400 kg sampah plastik di Desa Pemuteran. Sekitar 80% sampah plastik yang ditukarkan ke NGO Lingkungan, akan dimanfaatkan menjadi beras. Beras yang dihasilkan akan disalurkan untuk para lansia di Desa Pemuteran. Lebih dari 170 lansia Pemuteran sebagai penerima manfaat dari hasil penukaran sampah plastik.
“Sesuatu yang dimulai dengan kebaikan juga akan mendatangkan kebaikan. Apa yang kita dapat dan apa yang kita miliki adalah milik orang lain. Everything is connected” - Gede Andika.Sisa sampah plastik, KREDIBALI me-recycle sendiri untuk dijadikan produk yang bisa digunakan setiap hari.
KREDIBALI : Satukan Gerak Terus Berdampak
Tak ada yang sia-sia, perjuangan dan dedikasi sosok Gede Andika Wirateja untuk kampung halamannya, mendapatkan apresiasi dari SATU Indonesia Awards 2021, kategori khusus sebagai Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi COVID-19.
KREDIBALI menjadi salah satu yang terpilih dari lebih 14.000 pendaftar kompetisi bergengsi ini. Lebih dari itu, Gede Andika dan KREDIBALI memberikan kontribusi yang nyata, dalam menuntaskan isu sosial yang terjadi di Pemuteran, memberikan harapan yang lebih baik untuk masa depan anak-anak Pemuteran, lingkungan yang lebih bersih, serta membantu para lansia memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kini, Andika tidak lagi sendiri. Banyak relawan yang bergabung dan ikut berkontribusi menjadi teman belajar anak-anak Bali. Tidak hanya 471 anak Pemuteran, sekitar 171 anak di Denpasar, dan lebih dari 50 anak di Batur, telah menjadi teman ajar KREDIBALI.
#APA2025-BLOGSPEDIA

















Post a Comment
Post a Comment